21 Maret 2016

Gereja Katolik Indonesia dan Permasalahan Narkoba


Saat ini ada sekitar 4 juta lebih pengguna narkoba di Indonesia. Dmand yang besar itulah Indonesia menjadi pasar yang sangat potensial bagi peredaran narkoba. BNN sendiri hendak merubah paradigma yang selama ini berlaku dalam hal pemberantasan narkoba. Para pengguna tidak lagi dikenai hukuman penjara tetapi wajib menjalankan rehabilitasi. Karena itu dianggab satu-satunya cara yang paling efektif untuk menyelamatkan generasi muda.
Rehabilitasi pengguna narkoba sesuai dengan Undang-Undang no 35 tahun 2009 tentang narkotika. Indonesia juga coba mengikuti trend dunia, dimana banyak negara sudah menghilangkan hukuman penjara bagi pengguna narkoba. PBB sendiri ikut mengeluarkan deklarasi politik yang menganjurkan penanganan permasalaham narkoba harus dilaksanakan secara seimbang antara demand dan supply reduction.
Berangkat dari itu semua maka BNN mencanangkan bahwa tahun 2014 ini adalah Tahun Penyelamatan Pengguna Narkoba. Kepala BNN mengakui bahwa lembaga tersebut tidak bisa bekerja sendiri, maka diperlukan kerjasama dari berbagai elemen dari masyarakat. Narkoba bisa menyerang siapa saja, dari segala lapisan dan juga golongan. Tidak perduli suku dan agama, semuanya rentan terhadap penyalahgunaan dan masuk dalam lingkaran kejahatan narkoba.
Berkenaan dengan permasalahan narkoba, Gereja katholik Indonesia sendiri sudah menunjukan komitmen dan peran nyata berkenaan dengan narkoba. Gereja Katholik memandang bahwa telah terjadi krisis kehidupan yang besar pada permasalahan narkoba. Krisis tersebut tidak hanya melibatkan pengguna narkoba saja, melainkan juga keluarga. Sebuah surat gembala yang dikeluarkan oleh Konferensi Waligereja Indonesia tanggal 15 November 2013 berjudul "Jadilah Pembela Kehidupan, Lawanlah penyalahgunaan narkoba" adalah bukti bahwa Gereja Katholik Indonesia memberi perhatian yang cukup besar terhadap permasalahan ini.
Pada poin no 9 dari Surat Gembala ini KWI menekankan pentingnya Rehabilitasi. GerejaKatholik memandang bahwa terhadap korban penyalahgunaan narkoba harus dirawat hinggah pulih. Menjebloskan mereka ke dalam penjarah bukan solusi. Dibagian lain juga disinggung soal usaha memulihkan korban perlu diadakan rumah rehabilitasi yang dikelola secara benar dan bertanggung jawab dengan pendampingan medis, psikologis, dan rohani. Untuk itu Rumah Sakit Katolik hendaknya secara pro-aktif ambil bagian dalam menolong korban penyalahgunaan narkoba. Surat Gembala ini sangat sesuai dengan misi BNN yang berupaya pengguna narkoba menjalani rehabilitasi lengkap
Sebagai salah satu kota besar di Indonesia, peredaran dan penyalahgunaan narkoba cukup memperihatinkan. Salah satunya contohnya beberapa hari sebelumnya BNN berhasil melakukan penggerebekan dan penyitaan narkoba jenis sabu seberat 2 kilogram di sebuah rumah jalan Arif Rahman Hakim Medan. Banyak kerja nyata yang telah dilakukan dibawah Keuskupan Agung Medan selama ini. Seperti dibentuknya sebuah tim pelayanan yang secara proaktif mencari korban-korban narkoba. Salah satu langkahnya adalah dengan cara-cara persuasif serta terus  membuka diri terhadap curhat-curhat  yang bersifat confidential dan personal.
Sebagaimana kita ketahui bahwa ada banyak generasi muda korban narkoba yang sangat kesulitan melaporkan permasalahan mereka kepada orangtua. Keusukupan Agung Medan sendiri menghimbau pastoran, komunitas religius, sekolah-sekolah, klinik dan rumah sakit hendaknya menyediakan shelter bagi orang-orang yang berpotensi atau sudah menjadi korban narkoba. Sejauh ini sudah ada paroki-paroki yang menyediakan ruang belajar bagi anak-anak sekolah dan menggerakan perkumpulan orang muda katholik (OMK) untuk menghindari bahaya narkoba. Disamping itu mereka juga menyediakan ruang konsultasi, konseling dan juga mempersiapkan kamar tertentu untuk shelter yang bisa dipakai sebagai tempat berlindung dalam waktu terbatas.
Keusukupan Agung Medan menaungi sebuah pusat perawatan dan pemulihan adiksi yang dilakukan secara terpadu dan bersifat rujukan. Dalam hal ini Keuskupan Agung Medan telah bekerjasama Caritas PSE (Pengembangan Sosial Ekonomi) dan Tarekat KSSY (Kongregasi Suster Santo Yosef). Kongregasi yang berpusat di jalan Hayam Wuruk Medan itu mengelola sebuah rumah singgah bagi pengguna narkoba yang terletak di jalan Sei Asahan no. 36 dan juga pusat pelayanan rehabilitasi dan penanggulangan narkoba narkoba di jalan Bougenville. Didirikannya rumah singgah (shelter) bertujuan memberikan sebuah tempat dimana pengguna narkoba bisa share pengalaman, sekaligus menumbuhkan harapan dan kekuatan dalam pemulihan.
Salah satu tujuan didirikannya pusat perawatan dan pemulihan adiksi narkoba adalah mengembalikan fungsi sosial pengguna narkoba di tengah keluarga, lingkungan pekerjaan dan masyarakat umum. Beberapa tahapan yang harus dijalani oleh mereka yang benar-benar ingin menjalani rehabilitasi adalah mengikuti program tertentu seperti wajib rawat inap selama 6 bulan. Selama masa itu mereka akan menjalani tahapan detoksifikasi, pertemuan 12 langkah, konseling adiksi, sesi harian, pertemuan keluarga dan program pasca perawatan. Pastinya  pusat rehabilitasi yang dibuka pada tahun 2011 lalu itu tidak berjalan sendiri. Mereka bekerjasama juga dengan mitra-mitra strategis seperti Badan Narkotika Nasional Provinsi Sumut, Dinas Kesehatan Kota Medan, Satuan Narkoba Polrestabes Medan, beberapa puskesmas serta lembaga swadaya masyarakat yang mempunyai concern yang sama terhadap narkoba. Hanya sayang ketika penulis hendak menyambangi pusat rehabilitasi narkoba yang dikelola oleh suster-suster KSSY itu, mereka sedang tidak berada di tempat. Rupanya para biarawati pengelola saat ini sedang mendapatkan pendidikan dan pelatihan di Jakarta berkenaan dengan narkoba.
Kepedulian gereja katholik terhadap pengguna narkoba tidak hanya dilakukan di Keuskupan Agung Medan saja. Di beberapa kota lain di Indonesia, pendampingan terhadap korban-korban penyalahgunaan narkoba juga dilakukan. Panti rehabilitasi dan rumah singgah juga didirikan dibawah naungan keuskupan masing-masing sebagai karya kerasulan bagi pengguna narkoba. Biasanya melibatkan yayasan-yayasan dan kongregasi setempat. Salah satunya adalah Panti Rehabilitasi Narkoba terpadu Kedhaton Parahita yang ada di kawasan Sentul City, Bogor.
Panti ini dikelola 52 orang staff, termasuk psikolog, konselor, dan pembimbing spiritual. Panti ini juga dilengkapi sarana kapel, mushola, ruang konseling, ruang musik, sarana olah raga serta perpustakaan. Menariknya Panti ini tidak hanya diperuntukan bagi mereka yang beragama katholik saja.  Karya kerasulan dalam hal narkoba juga dilakukan di Keusukupan Bandung bersama Panti Rehabilitasi Narkoba "Sekar Mawar". Sedangkan di Sleman Yogyakarta para bruder yang tergabung dalam kongegrasi Fatum Caritas mendirikan lembaga rehabilitasi "Kunci" yang beralamat di Nandan.
Gereja hendak mengajak umat terutama keluarga untuk peduli terhadap permasalahan narkoba. Keluarga perlu membentengi anak-anak agar tidak terjerumus pada narkoba. Orangtua harus membuka komunikasi yang baik dengan anak-anak. Bila sudah anggota keluarga yang sudah menjadi pengguna, umat menjadi tahu kemana mereka harus mencari bantuan. Gereja memandang bahwa pengguna narkoba harus diselamatkan, dan bukan dicampakan. Gereja katholik memberi tempat tertinggi pada nilai-nilai kehidupan. Hidup sebagai pengguna narkoba yang dipandang orang sudah tiada arti itu hendak diperbaiki berganti dengan kehidupan baru. Bagi mereka yang belum jatuh pada masalah narkoba perlu untuk dijaga dengan perhatian yang juga besar. Salah tahu caranya adalah dengan meminta keluarga dan orangtua untuk sungguh-sungguh mencintai, mengenal dan memperhatikan anak secara cermat sebelum semuanya menjadi terlambat. Salam Indonesia bergegas, salam Indonesia bebas narkoba.

Referensi: 
http://www.karina.or.id/index.php/2012-10-24-04-02-12/kilas-berita/98-pusat-perawatan-dan-pemulihan-narkoba-keuskupan-agung-medan 

http://archdioceseofmedan.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=285:narkoba&catid=65:headline http://m.hidupkatolik.com/index.php/2014/02/06/karya-kerasulan-bagi-korban-narkoba

Sumber gambar: witbanknews.co.za


EmoticonEmoticon