21 Maret 2016

Linda, Menjadi Terang dalam Kegelapan


Di negara ini penyandang disabilitas masih banyak yang terpinggirkan. Belum banyak fasilitas yang diberikan bagi mereka. Kesempatan kerja pun masih minim. Pemberdayaan kepada mereka belum mencapai hasil maksimal. Banyak dari mereka yang harus mengais rejeki di jalan-jalan, berharap belas kasih sesama. 

Beruntung Presiden Jokowi mempunyai rencana untuk mendirikan pabrik yang bisa memperkejakan penyandang disabilitas. Walau begitu, tidak sedikit dari penyandang disabilitas yang mampu berprestasi. Mereka mampu keluar dari keterbatasan diri. Bahkan secara luar biasa menjadi sosok inspiratif bagi siapa saja. Termasuk wanita yang satu ini, Linda Augustine Kwa. 

Berikut rangkuman bincang-bincang saya bersamanya beberapa waktu yang lalu. Ia yang akrab dipanggil Linda adalah penyandang disabilitas tunanetra yang berhasil keluar dari stigma-stigma masyarakat. Stigma dimana penyandang disabilitas itu tidak mampu berbuat apa-apa. Stigma bahwa pendidikan itu tidaklah penting bagi seorang tunanetra. 

Wanita berusia 35 tahun ini ternyata mempunyai gelar S1 dibelakang namanya. Tahun 2003 Ia mampu masuk salah satu PTN terkenal di Medan. Dan pada tahun 2008 ia diwisuda sebagai sarja pendidikan bahasa Inggris. Kuliah di jurusan pendidikan bahasa Inggris bukan mudah. Bukan hanya belajar soal tenses semata atau sekedar menghafal vocabulary. Apalagi jurusan kependidikan, dimana mahasiswanya diharuskan mempelajari ilmu-ilmu untuk bisa menjadi pendidik yang baik. Bisa dibayangkan bagaimana kerasnya ia belajar ketika semasa itu ditengah keterbatasanya Sejak kecil Linda memang sudah menyukai bahasa Inggris. 

Beruntung ia memiliki orangtua yang concern terhadap pendidikan semua anak-anaknya. Sejak kecil Linda dan saudara-saudaranya dileskan bahasa Inggris. Orangtua Linda berpikir bahwa menguasai bahasa Inggris itu sangatlah penting. Dan orangtuanya tidak pernah membeda-bedakan Linda dengan saudaranya yang lain. Melihat keterbatasan anaknya orangtua Linda mengirimnya bersekolah di sekolah khusus tunanetra. Ketika SMA, Linda memutuskan untuk bersekolah di sekolah umum yaitu di SMA Cahaya yang ada di jalan Hayam Wuruk Medan. Disamping itu penyandang tunanetra memang didorong untuk bersekolah di sekolah umum pada tingkat SMA. Tujuannya agar mereka lebih mudah beradaptasi. 

Ketika saya tanya apakah tidak sulit bersekolah di sekolah umum? Linda mengakui bahwa ada beberapa pelajaran yang sulit untuk ia ikuti seperti pelajaran olah raga dan seni menggambar. Bersyukur bahwa selama ia bersekolah ia tidak pernah dibully oleh teman-temannya. Sekarang ia aktif di Pertuni (Perhimpunan Tunanetra Indonesia) Sumatera Utara. Namanya juga tercatat sebagai sebagai sekretaris HWDI (Himpunan Penyandang Disabilitas Indonesia) Sumatera Utara. Di Pertuni sendiri ia boleh dikatakan sebagai motor penggerak. Ia sering mengadakan pelatihan-pelatihan bagi penyandang tunanetra seperti halnya penggunaan komputer. Linda sendiri pernah mewakili Indonesia untuk ikut program pengenalan sebuah software khusus tunanetra di Penang, Malaysia. Sebagai kegiatan harian, Linda memberikan kursus bahasa Inggris dan komputer di rumah bagi anak-anak penyandang disabilitas seperti dirinya. 

Oh ya, Linda juga mahir menggunakan ponsel. Ia memperagakannya di depan saya bagaimana membuat atau menerima panggilan telepon. Termasuk mengirim pesan singkat. Terus terang saya agak heran dan kagum melihatnya. Lalu ia membocorkan rahasianya, bagi pengguna ponsel Android memang fitur khusus yang bisa dimanfaatkan bagi penyandang tunanetra. Silakan cari di bagian setting bagi pengguna Android. Linda menyadari bahwa menjadi penyandang tunanetra itu berarti mempunyai keterbatasan. Namun bukan berarti tidak mempunyai hak untuk diperlakukan sama seperti anggota masyarakat yang lain. Maka pada tahun 2009 ia maju untuk mengikuti test CPNS. Awalnya terjadi hambatan karena tes CPNS tidak didesain untuk penyandang tunanetra. Situasi itu sempat terangkat ke publik. Namanya sempat masuk media lokal dan nasional. Akhirnya pihak panitia mengijinkannya untuk ikut tes. Linda memang gagal untuk menjadi PNS. Namun niatnya sudah kesampaian, keinginan agar penyandang hak-hak penyandang disabilitas diperhatikan. Saya tidak bisa lama berbincang-bincang dengan Linda. Karena sebenarnya sebenarnya sedang mempersiapkan sebuah kegiatan yang melibatkan sekelompok orang muda dengan anggota Pertuni. Orang muda yang ingin berbagi empati dan ikut merasakan bagaimana hidup sebagai penyandang tunanetra. Dan Linda mengijinkan saya untuk meliput kegiatan tersebut. Di ruangan pertemuan sudah banyak yang hadir, baik itu kelompok muda maupun penyandang tunanetra. Setelah semuanya siap, Linda membuka acara dan memberikan beberapa kata pengantar.Terbetik kekaguman saya pada sosok Linda. Ia tidak canggung berbicara pada sebuah pertemuan yang dihadiri oleh banyak peserta. Semua lancar, ia berbicara seakan melihat semuanya. Salut saya ketika ia mampu mengkoordinir puluhan penyandang tunanetra lain untuk bisa mengikuti acara dengan baik. Sebagai penyandang disabilitas, 

Linda sudah membuktikan bahwa hidupnya tidak pernah sia-sia. Ia tidak menyerah begitu saja pada keadaan. Ia bekerja keras dengan keterbatasan buku-buku braille yang ada. Ia juga tidak ingin tertinggal oleh teknologi informasi yang saat ini berkembang di masyarakat.Apa yang sudah ia lakukan mungkin tidak banyak, namun bisa jadi hidupnya jauh lebih berarti dari mereka yang mempunyai kesempurnaan fisik. Linda tidak egois, tidak hanyak memikirkan kesuksesan dirinya sendiri. Ia selalu ingin berbagi, selalu ingin agar penyandang tunanetra lainnya harus bisa mandiri seperti dirinya.


EmoticonEmoticon